Membangun Second Brain

Baru-baru ini aku denger sebuah istilah yang cukup menarik dari thread Twitter nya mas Hilman, tentang "Second Brain". Apa sih itu? Kalau secara sederhana, Second Brain itu adalah tempat kita menyimpan dan mengolah berbagai informasi, yang itu nggak hanya berguna buat diri kita saat ini, melainkan juga untuk diri kita di masa mendatang. Kenapa kita perlu Second Brain? karna kita perlu sistem yang bisa membantu diri sendiri untuk mengakses, menganalisa, dan mencari semua informasi dengan gampang, sehingga kita tidak harus pusing mengingat keseluruhan informasi secara detail. Dan salah satu tujuannya adalah agar ide-ide atau informasi-informasi yang kita susun bisa kita olah untuk membantu kita sehari-hari, dan bisa terwujud menjadi kenyataan—baik berupa kreatifitas, karya kerja, ataupun pengembangan diri—sehingga nggak hanya berupa ide-ide atau informasi-informasi yang terlupakan saja. Tanpa Second Brain, ide-ide atau informasi-informasi yang kita pikirkan mungkin akan terkesan random di otak fisik kita, dan sulit untuk diolah. Karna itu kita butuh alat bantu.

Second Brain ini ada bukunya, judulnya "Building a Second Brain" dari Tiago Forte. Silahkan baca bukunya supaya lebih jelas dan lengkap tentang konsep ini.

Apa otak fisik kita belum cukup?

Dari yang aku baca, otak fisik kita itu pada dasarnya lebih banyak dipakai dan lebih ditujukan untuk berfikir, bukan untuk menyimpan atau mengingat berbagai hal dalam jangka waktu yang lama. Meskipun memang, beberapa orang ada yang diberi ingatan yang cukup baik—ingatan jangka panjangnya kuat—tapi kalau kebanyakan informasi atau memory yang diingat, tentunya akan lebih mudah lupa juga. Nah biasanya ini disebut sebagai Information Overload, kondisi dimana saking banyaknya informasi yang diserap, malah bisa bikin bingung, bisa bikin lupa, dan bisa bikin susah juga mengambil keputusan.

Daily case?

Ini juga sering aku alami sih kondisi ini, misal pas habis grooming gitu ya, sehari dua hari mungkin masih hafal kontennya apa aja. Tapi karna setelahnya banyak dipakek buat nonton film misal, baca artikel, atau maen game kalah gitu ya—kepikiran—jadi banyak yang masuk di pikiran berhari-hari. Nah, nggak jarang pas hari-hari berikutnya mulai agak lupa yang dibahas kemarin apa aja. Jadi seringnya aku mesti bikin kayak catatan kecil buat nyatet poin-poin penting groomingnya apa aja, atau baca ulang PRD nya, atau di card jiranya waktu ngerjain task biasanya aku suka tambahin keterangan changesnya, how to test nya, sama spesifikasi tasknya—biar nggak kelupaan lagi. Meskipun nggak banyak dan belum terlalu sering, yang penting memorynya biar bisa refresh gitu pas baca ulang lagi catetannya.

Nah, ini tanpa sadar sebenernya aku tuh sedang membangun Second Brain ku sendiri. Meskipun cuman bikin catatan kecil dan belum terlalu terstruktur, tapi ini membantu ku buat mengingat kembali informasi-informasi penting, dan emang inti pokok dari konsep Second Brain itu nyatet sebenernya—seni mencatat.

FOMO

Terus ada juga masalah yang lain, FOMO misalnya, Fear or Missing Out, atau takut ketinggalan. Biasanya aku sering menemukan ini di dunia saham atau crypto. Biasanya muncul kalau kita terlalu sering baca-baca di grup komunitas. Biasanya kan suka ada yang share tuh saham-saham yang diprediksi bakal naik, atau misal di grup crypto, suka ada yang share koin-koin micin yang diramal bisa naik ribuan persen— berharap modal 100rb jadi 100 juta—biasanya kan gitu ya. Nah, itu kalau kita nggak olah informasi-informasi liar itu, kita bisa saja kena FOMO. Kita jadi ikutan beli, padahal sebenernya kan hal-hal kayak saham-saham gitu pasti ada analisanya dulu, nggak asal beli. Belum tentu bisa naik sekian persen, dan nggak ada yang bisa menjamin juga, malah bisa jadi rugi sendiri.

Nah karna itu, selain butuh alat bantu buat mengingat, kita ternyata juga butuh alat bantu untuk mengolah informasi.

Medium buat Second Brain

Kalau di bukunya sendiri, Second Brain tuh lebih diterapkan menggunakan digital tools, misal pakek aplikasi kayak Evernote, Google Keep, Apple Notes, dan sejenisnya. Kenapa digital tools? karna catatan-catatan kita akan lebih mudah buat di manage, misal mudah di searching, di grouping, di synchonize ke multiple device, dan mudah juga buat di share. Meskipun menurutku pakek analog tools juga bisa sih, misal buku fisik atau kertas kanban, selama itu kita bikinnya tetap mudah untuk di manage. Yang penting idenya adalah mencatat informasi dan kemudahan akses. Cuman kekurangannya kalau pakai kertas, kalau catetan kita udah sangat banyak, pasti akan sulit nyari-nyari nya, kita mesti buka catetannya satu per satu. Karna itu pakek aplikasi lebih disarankan.

Terus apa bedanya dengan nyatet biasa, atau bedanya dengan buku harian misalnya?

Menurutku bedanya disini ada di metode nya. Kalau buku harian atau catetan biasa kan kita nyatet kejadian yang kita alami, dan ya udah asal nyatet apa yang kita ingat aja gitu kan ya, tanpa ada follow up lebih lanjut. kalau Second Brain tuh dia lebih bersifat sistematis, dan ada follow up setelahnya—setelah kita nyatet. Artinya kita bikin Second Brain bukan untuk diri kita saat ini aja, tapi juga untuk memudahkan kita mengerjakan sesuatu dimasa mendatang.

Metode membangun Second Brain

Di bukunya sendiri, ada 4 cara yang dipakai untuk membangun Second Brain, yang disingkat CODE; ada Capture, Organize, Distill dan Express.

Kalau menurutku sih metode ini optional ya, soalnya kan kemudahan dan strategi tiap orang dalam mengatur catatannya bisa berbeda-beda, mungkin ada yang cocok pakek metode CODE, ada yang tidak. Selama dia bisa menggunakan catatannya sebagai Second Brainnya dia, well, it's ok menurutku.

Capture

Di tahap ini, tugas kita adalah mencatat semua informasi yang menurut kita menarik, atau yang menurut kita penting. Bisa berupa highlight artikel, kutipan, obrolan, catatan meeting, atau apapun yang ada di pikiran. Contoh misal grooming fitur baru, kita bisa catet obrolan-obrolan penting terkait fiturnya yang sedang dibahas. Misal yang berhubungan dengan spesifikasi fiturnya, atau flow dari fiturnya, cara testing, dll. Kita juga bisa mengcapture konten-konten dari PRD nya untuk dicatat, untuk kita olah lagi nantinya. Pokoknya dicatet aja dulu.

Terus, ini juga penting untuk menjadikan kegiatan mencatat menjadi sebuah kebiasaan. Karna nggak ada ruginya sih menurutku, malah bisa sangat bermanfaat bagi kita di kemudian hari.

Organize

Di tahap ini, kita mengatur semua informasi yang telah kita capture—yang telah kita catat— menjadi sesuatu yang lebih terstruktur. kalau di bukunya, Tiago Forte menggunakan metode PARA untuk mengatur informasi; ada Projects, Areas, Resources dan Archives.

  • Projects
    • Disini kita mencatat hal-hal yang lagi dikerjakan atau yang akan dikerjakan dalam waktu dekat
  • Areas
    • Disini kita mencatat informasi-informasi yang akan kita pakai untuk diri kita dalam jangka panjang
  • Resources
    • Disini kita banyak mencatat dari riset, yang sekiranya akan berguna untuk kita dimasa mendatang
  • Archives
    • Disini tempat kita menaruh projects yang sudah dikerjakan, atau catatan-catatan yang sekiranya sudah nggak relevan lagi. Kenapa tetep di simpan? karna senggaknya kalau suatu saat butuh, bisa dicari lagi mudah

Balik lagi, ini optional juga menurutku, kita bisa ikut cara ini atau enggak, karna preferensi kemudahan tiap orang berbeda-beda.

Contoh fitur baru tadi ya, di tahap organize ini kita mungkin akan lebih banyak mencatat terkait hal-hal yang lebih bersifat teknis, yang berhubungan dengan fiturnya. Misal harus coding di repository yang mana, dependency fiturnya ke mana aja, riset flow eksisting, dll.

Distill

Di tahap ini, kita melakukan sorting serta analisis dari catatan yang kita bikin sebelumnya. Kita cari inti atau poin-poin pentingnya apa aja, terus bisa juga dibikin summary. Jadi sebaiknya jangan hanya asal mencatat aja, bisa jadi malah kedepannya bikin kita bingung sendiri. Karna terlalu banyak yang dicatat, jadi susah nyari poin-poin penting atau inti dari catatan kita itu apa, jadi susah juga nyari tau yang mau atau akan kita kerjakan dari catatan itu apa.

Express

Di tahap ini, kita melalukan realisasi atau follow up, atau pengambilan tindakan, terhadap catatan yang udah kita bikin. Dari tahap-tahapan diatas, kita pecah menjadi bagian-bagian kecil yang memungkinkan dan bisa mulai dikerjakan dulu, tidak perlu nunggu sampai selesai dulu, yang penting kita bisa mulai mengerjakan dari hal-hal kecil terlebih dahulu, karna ini akan membantu kita menemukan hal-hal baru yang bisa dikerjakan nantinya.

Contoh fitur baru tadi, setelah kita punya catatan gambaran umum fiturnya, terus kita udah organize menjadi catatan yang lebih teknikal, dan kita udah tau poin-poin penting fiturnya apa aja, kita bisa mulai membuat kayak semacam TODO list dengan subtask-subtask kecil untuk dikerjakan, sampai akhirnya fiturnya selesai dikerjakan semua. Dengan bikin Second Brain kayak gini tuh, membuat apa yang kita kerjakan jadi lebih terstruktur. Jadi misal ditengah jalan kita ada kendala, kita bisa liat catetan Second Brain kita lagi, sehingga lebih mudah tracing kira-kira blockernya dimana, atau missnya dimana, atau kurangnya dimana. Terutama kalau yang kita kerjain baru ketauan ada issue misal berbulan-bulan setelahnya, atau pokoknya lama setelahnya, udah jadi fitur legacy misal. Kalau ga ada Second Brain, hanya mengandalkan otak fisik kita, kita kemungkinan besar akan kelupaan, atau kita ingat beberapa hal tapi lupa dulu flow ngerjainnya kayak gimana, alurnya gimana, relasinya kemana aja, jadi susah buat tracing dan merefresh kembali.

Dokumentasi kalau menurutku bisa disebut sebagai Second Brain juga sih, meskipun mungkin nggak disebutin secara detail sampai ke alur pengerjaan & catatan-catatan riset gitu ya, tapi bisa membantu merefresh memory kita dan menggali informasi-informasi penting.

The Second Brain is not only a place to take notes

...but your projects or problems can be slowly resolved with this thinking assistant.

Let's read the book!

There are many interesting relevant topics in the book, like Personal Knowledge Management, Extended Cognition, etc.